Dalam proses perencanaan proyek atau penganggaran organisasi, tidak cukup hanya menentukan apa yang ingin dicapai. Yang jauh lebih penting adalah menentukan bagaimana cara mencapainya secara realistis, termasuk memperkirakan waktu, biaya, serta sumber daya yang diperlukan. Di sinilah metode estimasi memainkan peran penting dalam memastikan keberhasilan proyek.

Dua pendekatan yang paling sering digunakan dalam estimasi proyek adalah estimasi top-down dan estimasi bottom-up. Keduanya merepresentasikan dua sudut pandang yang berbeda — satu berasal dari arah manajemen atas (strategis), dan satu lagi dari arah pelaksana teknis di lapangan (operasional). Keduanya dapat efektif, tergantung pada konteks, kebutuhan, serta tahapan proyek.

Artikel ini membahas secara lengkap mengenai:

  • Pengertian estimasi top-down dan bottom-up
  • Perbedaan utama serta logika di balik masing-masing pendekatan
  • Kelebihan dan kekurangan
  • Studi kasus penerapan
  • Waktu yang tepat untuk menggunakan masing-masing metode
  • Strategi penggabungan (metode hybrid)
  • Tips penerapan di dunia kerja nyata

 

Apa Itu Estimasi Top-Down?

Metode estimasi top-down dimulai dari level strategis. Pendekatan ini mengandalkan perkiraan kasar terhadap keseluruhan proyek atau target organisasi terlebih dahulu, kemudian membaginya ke dalam bagian-bagian yang lebih kecil.

Contoh:
Sebuah perusahaan ingin meluncurkan aplikasi baru dalam 5 bulan dengan anggaran sebesar Rp500 juta. Tim manajemen menetapkan target tersebut, lalu membaginya menjadi beberapa fase seperti pengembangan, desain, pengujian, dan peluncuran.

Biasanya, pendekatan ini didasarkan pada:

  • Data historis dari proyek serupa
  • Benchmark industri
  • Keputusan strategis atau politis
  • Target waktu atau anggaran yang sudah ditentukan sejak awal

Metode ini banyak digunakan dalam organisasi besar dengan struktur manajemen bertingkat, serta proyek yang memerlukan keputusan cepat untuk segera dimulai.

 

Apa Itu Estimasi Bottom-Up?

Sebaliknya, metode bottom-up dimulai dari unit terkecil dalam struktur organisasi atau proyek. Setiap tim memperkirakan kebutuhan waktu, sumber daya, dan biaya secara mandiri. Setelah semua data dikumpulkan, hasilnya dijumlahkan untuk membentuk total estimasi proyek.

Contoh:

  • Tim UI/UX memperkirakan waktu 4 minggu dengan biaya Rp75 juta.
  • Tim backend membutuhkan 8 minggu dan Rp120 juta.
  • Tim QA memerlukan 2 minggu dengan biaya Rp30 juta.

Hasil total estimasi dari seluruh bagian kemudian digabungkan menjadi estimasi keseluruhan proyek. Pendekatan ini unggul dalam akurasi dan partisipasi, terutama jika organisasi memiliki tenaga ahli yang memahami detail teknis setiap pekerjaan.

 

Perbedaan Kunci antara Top-Down dan Bottom-Up

Aspek

Top-Down

Bottom-Up

Dimulai dari

Manajemen/Strategi Atas

Tim Teknis atau Pelaksana

Fokus

Hasil akhir & alokasi makro

Detail tugas dan pelaksanaan

Akurasi

Cepat tapi kurang detail

Lebih akurat, memakan waktu

Kebutuhan data

Rendah

Tinggi (input dari semua unit)

Partisipasi tim

Rendah

Tinggi

Cocok untuk

Proyek cepat, deadline ketat

Proyek kompleks dan teknis

Risiko

Bias asumsi, kurang realistis

Sulit koordinasi, potensi overestimation

 

Kelebihan dan Kekurangan

Kelebihan Top-Down:

  • Cepat dan efisien, cocok ketika waktu terbatas.
  • Mudah diselaraskan dengan strategi organisasi.
  • Pengambilan keputusan terpusat, memudahkan kontrol.

Kekurangan Top-Down:

  • Kurang detail, sering meleset dari kondisi lapangan.
  • Partisipasi tim rendah sehingga motivasi bisa menurun.
  • Risiko tinggi jika asumsi awal salah.

Kelebihan Bottom-Up:

  • Akurat karena bersumber langsung dari pelaksana.
  • Meningkatkan rasa kepemilikan dan tanggung jawab tim.
  • Mengungkap kebutuhan tersembunyi sejak awal.

Kekurangan Bottom-Up:

  • Membutuhkan waktu dan koordinasi lebih lama.
  • Potensi estimasi berlebih (over-budgeting).

 

Studi Kasus: Pengembangan Aplikasi Mobile

Bayangkan Anda seorang manajer proyek yang ditugaskan membangun aplikasi e-commerce.

Pendekatan Top-Down:

Manajemen menetapkan target proyek selesai dalam 4 bulan dengan anggaran Rp400 juta, berdasarkan estimasi proyek sebelumnya. Tim kemudian menyesuaikan rencana kerja agar sesuai dengan batas tersebut.

Pendekatan Bottom-Up:

Setiap divisi menyusun estimasi sendiri:

  • UI/UX: 1,5 bulan (Rp75 juta)
  • Frontend: 2 bulan (Rp100 juta)
  • Backend: 2 bulan (Rp120 juta)
  • QA: 1 bulan (Rp50 juta)
  • DevOps: 2 minggu (Rp30 juta)

Total estimasi menjadi 5 bulan dan Rp375 juta. Hasil ini menunjukkan adanya perbedaan antara target manajemen dan kebutuhan teknis aktual. Solusinya adalah menggabungkan kedua pendekatan agar hasilnya realistis namun tetap dalam batas strategis.

 

Kapan Menggunakan Masing-Masing Metode?

Gunakan Top-Down Jika:

  • Proyek harus dimulai segera.
  • Data detail dari unit belum tersedia.
  • Diperlukan estimasi untuk proposal atau tender awal.
  • Proyek bersifat strategis dengan pengawasan ketat.

Gunakan Bottom-Up Jika:

  • Diperlukan estimasi yang akurat dan realistis.
  • Proyek bersifat teknis dan kompleks.
  • Ingin meningkatkan keterlibatan dan komitmen tim.

 

Metode Hybrid: Solusi yang Cerdas

Dalam praktiknya, pendekatan murni sering kurang fleksibel. Karena itu, banyak organisasi menerapkan metode hybrid, yaitu kombinasi top-down dan bottom-up:

  1. Gunakan top-down untuk menetapkan batas strategis (waktu, anggaran, milestone besar).
  2. Libatkan tim menggunakan bottom-up untuk menghitung kebutuhan nyata.
  3. Lakukan validasi silang antara batas makro dan estimasi teknis.
  4. Sesuaikan hasil kedua pendekatan secara dua arah.

Metode hybrid membantu menjaga keseimbangan antara akurasi, kecepatan, dan kontrol proyek.

Tips Praktis Menerapkan Estimasi Proyek

  1. Gunakan data historis sebagai pembanding.
  2. Lakukan estimasi bertahap (kasar → detail).
  3. Komunikasikan asumsi antar tim dan manajemen.
  4. Siapkan cadangan waktu dan biaya untuk risiko.
  5. Gunakan tools seperti Asana, Trello, JIRA, atau MS Project.
  6. Evaluasi hasil estimasi proyek sebelumnya.

Estimasi bukan sekadar angka, melainkan alat strategis untuk mengarahkan sumber daya ke arah yang paling efektif. Pendekatan top-down memberikan kecepatan dan kontrol, sedangkan bottom-up memberikan akurasi dan komitmen.

Keduanya penting — gunakan sesuai kebutuhan, atau kombinasikan agar hasil estimasi realistis, dapat dieksekusi, dan disepakati bersama.

“Rencana yang realistis adalah yang paling bisa menyelamatkan proyek Anda.”

 

Daftar Referensi

  1. Asana. (n.d.). Pendekatan Top-down: Definisi, manfaat, dan contoh. Diakses pada 5 Oktober 2025 dari https://asana.com/id/resources/top-down-approach
  2. Jurnal.id. (2018). Mengenal metode peramalan top-down forecasting. Diakses pada 5 Oktober 2025 dari https://www.jurnal.id/id/blog/2018-mengenal-metode-peramalan-top-down-forecasting/
  3. Cube Software. (n.d.). Bottom-Up Planning: A more accurate way to plan. Diakses pada 5 Oktober 2025 dari https://www.cubesoftware.com/blog/bottom-up-planning
  4. LaunchNotes. (n.d.). Top-down vs. bottom-up estimating: A comprehensive comparison. Diakses pada 5 Oktober 2025 dari https://www.launchnotes.com/blog/top-down-vs-bottom-up-estimating-a-comprehensive-comparison
  5. Accounting Seed. (n.d.). Choosing top-down budgeting vs. bottom-up budgeting. Diakses pada 5 Oktober 2025 dari https://www.accountingseed.com/resource/blog/choosing-top-down-budgeting-vs-bottom-up-budgeting/
  6. Febriyanti, R. F., & Agustin, H. D. (2021). Analisis Perbandingan Pendekatan Top-Down dan Bottom-Up dalam Proyeksi Anggaran pada Pemerintah Daerah. Jurnal Administrasi dan Manajemen Publik (JAMPK), 3(2), 145–155. https://economics.pubmedia.id/index.php/jampk/article/view/537/420
  7. Damayanti, A., Santoso, W., & Trihadiningrum, Y. (2016). Kajian prediksi beban emisi pencemar udara TSP, NOx, SO2, HC dan CO serta gas rumah kaca di Kota Surabaya. https://www.neliti.com/publications/190816
  8. Zain, A. (2002). Estimasi Biaya Pembangunan Perangkat Lunak Menggunakan Model COCOMO. JUTI: Jurnal Ilmiah Teknologi Informasi, 1(1), 23–31. https://juti.if.its.ac.id/index.php/juti/article/view/30/29